Nama : Siti Nurjannah Nim : 170321100050 Kelas : AGB (B) Artikel terkait Agribisnis PENENTUAN UMUR SIMPAN PADA PRODUK PANGAN Pengolahan pangan pada industri komersial umumnya bertujuan memperpanjang masa simpan, mengubah atau meningkatkan karakteristik produk (warna, cita rasa, tekstur), mempermudah penanganan dan distribusi, memberikan lebih banyak pilihan dan ragam produk pangan di pasaran, meningkatkan nilai ekonomis bahan baku, serta mempertahankan atau meningkatkan mutu, terutama mutu gizi, daya cerna, dan ketersediaan gizi. Kriteria atau komponen mutu yang penting pada komoditas pangan adalah keamanan, kesehatan, flavor, tekstur, warna, umur simpan, kemudahan, kehalalan, dan harga.(Herawati, 2008) Terdapat tujuh jenis produk pangan yang tidak wajib mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa, yaitu: 1) buah dan sayuran segar, termasuk kentang yang belum dikupas, 2) minuman yang mengandung alkohol lebih besar atau sama dengan 10% (volume/volume), 3) makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi saat itu juga atau tidak lebih dari 24 jam setelah diproduksi, 4) cuka, 5) garam meja, 6) gula pasir, serta 7) permen dan sejenisnya yang bahan bakunya hanya berupa gula ditambah flavor atau gula yang diberi pewarna.(Herawati, 2008) KRITERIA KADALUWARSA Umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi(Herawati, 2008) Penggunaan indikator mutu dalam menentukan umur simpan produk siap masak atau siap saji bergantung pada kondisi saat percobaan penentuan umur simpan tersebut dilakukan.(Herawati, 2008) PARAMETER UMUR SIMPAN Terdapat enam faktor utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik atau off flavor.(Herawati, 2008) Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (aw) berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis, serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya. Makin tinggi aw pada umumnya makin banyak bakteri yang dapat tumbuh, sementara jamur tidak menyukai aw yang tinggi.((Herawati, 2008) PRINSIP PENDUGAAN UMUR SIMPAN Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan masa kedaluwarsa produk adalah waktu. Pada prakteknya, ada lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa kedaluwarsa, yaitu: 1) nilai pustaka (literature value), 2) distribution turn over, 3) distribution abuse test, 4) consumer complaints, dan 5) accelerated shelf-life testing (ASLT).(Herawati, 2008) Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik, serta pengamatan kandungan mikroba.(Herawati, 2008) PENENTUAN UMUR SIMPAN Secara garis besar umur simpan dapat ditentukan dengan menggunakan metode konvensional (extended storage studies, ESS) dan metode akselerasi kondisi penyimpanan (ASS atau ASLT).(Herawati, 2008) Umur simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kedaluwarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu ESS dan ASS atau ASLT.(Herawati, 2008) KRITERIA KEMASAN kemasan yang dapat digunakan sebagai wadah penyimpanan harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni dapat mempertahankan mutu produk supaya tetap bersih serta mampu memberi perlindungan terhadap produk dari kotoran, pencemaran, dan kerusakan fisik, serta dapat menahan perpindahan gas dan uap air.(Herawati, 2008) Salah satu teknologi pengemasan pangan yang dapat menunda penurunan mutu dan memperpanjang umur simpan pada sayuran yaitu modified atmosphere packaging (MAP).(Herawati, 2008) MAP memberikan efek utama berupa penurunan respirasi, penundaan penurunan perubahan fisiologis, serta penekanan perkembangan mikroba. Penggunaan MAP dapat dikombinasikan dengan perlakuan pengolahan lainnya untuk memperpanjang umur simpan produk sayuran, seperti perlakuan suhu, konsentrasi O2 dan CO2, serta proses pemotongan, pencucian, dan pengupasan .(Herawati, 2008) MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN Beberapa proses penanganan produk pangan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan mutu adalah perlakuan panas tinggi, pembekuan, pengemasan, pencampuran, serta pemompaan. Pengeringan dapat memperpanjang umur simpan. Namun, pada proses pengeringan perlu diperhatikan agar air yang keluar dari bahan tidak merusak struktur jaringan, sehingga mutu bahan pangan dapat dipertahankan.(Herawati, 2008) Perlakuan panas seperti blanching, pasteurisasi, dan pemanasan dengan alat retort pada buahbuahan dan sayuran dapat menurunkan tingkat kesegaran dan menyebabkan produk menjadi lebih lunak.(Herawati, 2008) PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM UNTUK USAHA PERTANIAN Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang tepat serta penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air. Dengan upaya seperti itu diharapkan lahan rawa dapat menjadi lahan pertanian yang produktif, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) SIFAT TANAH SULFAT MASAM Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah tidak dapat digunakan untuk pertanian. Tanah sulfat masam mempunyai pH rendah, kandungan yang bersifat toksis H+, Al, Fe (III), dan Mn tinggi. Keadaan ini diikuti dengan P tersedia dan kejenuhan basa yang rendah serta kekahatan hara-hara lainnya.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) di dalam lumpur yang anaerob, pirit tidak membahayakan karena stabil, tetapi bila lumpur itu mengering, potensi redok (Eh) meningkat dan pirit tidak lagi stabil.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAH SULFAT MASAM Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air adalah sinkronisasi antara tata air makro dan mikr.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Di Karang Agung Ulu, penerapan pengelolaan tata air mikro pada lahan sulfat masam dengan berbagai sistem penataan lahan dapat meningkatkan kualitas lahan dan hasil tanaman.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah karena pH tanah rendah, kelarutan Fe, Al, dan Mn tinggi serta ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa rendah.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur adalah derajat pelapukan bahan induk, kandungan liat, kandungan bahan organik, bentuk kemasaman, pH tanah awal, metode kebutuhan kapur, dan waktu.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Tanaman yang dapat diusahakan di lahan sulfat masam antara lain adalah padi, palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau), sayuran (cabai, kacang panjang, kubis, tomat, dan terung), buahbuahan (rambutan, nenas, pisang, jeruk, nangka, dan semangka) dan tanaman perkebunan kelapa dan lada.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) PROSPEK PENGEMBANGAN SORGUM DI INDONESIA SEBAGAI KOMODITAS ALTERNATIF UNTUK PANGAN, PAKAN, DAN INDUSTRI Prospek penggunaan biji sorgum yang terbesar adalah untuk pakan, yang mencapai 26,63 juta ton untuk wilayah AsiaAustralia dan diperkirakan masih terjadi kekurangan sekitar 6,72 juta ton.(Sirappa, 2003) sorgum merupakan komoditas sumber karbohidrat yang cukup potensial karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 73 g/100 g bahan.(Sirappa, 2003) POTENSI LAHAN DAN PRODUKSI SORGUM luas areal sorgum dunia sekitar 50 juta hektar setiap tahun dengan total produksi 68,40 juta ton dan rata-rata produktivitas 1,30 t/ha.(Sirappa, 2003) proyeksi penyediaan sorgum untuk wilayah Asia-Australia pada tahun 2000 mengalami defisit sekitar 6.716.000 ton.(Sirappa, 2003) PROSPEK SORGUM SEBAGAI BAHAN PANGAN, PAKAN, DAN INDUSTRI Penggunaan sorgum sangat beragam, tetapi secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sebagai bahan pangan, bahan pakan, dan bahan industri.(Sirappa, 2003) Beberapa jenis makanan dari sorgum berdasarkan cara pengolahannya yaitu; • Makanan sejenis roti tanpa ragi, misalnya chapati, tortila. • Makanan sejenis roti dengan ragi, misalnya injera, kisia, dosai. • Makanan bentuk bubur kental, misalnya to, tuwu, ugali, bagobe, sankati. • Makanan bentuk bubur cair, misalnya ogi, ugi, ambili, edi. • Makanan camilan, misalnya pop sorgum, tape sorgum, emping sorgum. • Sorgum rebus, misalnya: urap sorgum, som. Makanan yang dikukus, misalnya couscous, wowoto, juadah-sorgum.(Sirappa, 2003) sorgum dapat mengganti seluruh jagung dalam ransum pakan ayam, itik, kambing, babi, dan sapi tanpa menimbulkan efek samping. Penggunaan biji sorgum dalam ransum dengan berbagai rasio tidak mempengaruhi produksi telur dan bobot ayam.(Sirappa, 2003) biji sorgum dapat dibuat gula atau glukosa cair atau sirup fruktosa sesuai dengan kandungan gula pada biji.(Sirappa, 2003) tantangan pengembangan sorgum meliputi aspek teknologi budi daya dan pascapanen serta jaminan pasar dan permintaan.(Sirappa, 2003) Secara umum, masalah utama dalam pengembangan sorgum adalah sebagai berikut; 1) Nilai keunggulan komparatif dan kompetitif ekonomi sorgum relatif rendah dibandingkan komoditas serealia lain. 2) Pascapanen sorgum (peralatan dan pengolahan) pada skala rumah tangga masih sulit dilakukan. 3) Pangsa pasar sorgum belum kondusif, baik di tingkat regional maupun nasional. 4) Penyebaran informasi serta pembinaan usaha tani sorgum di tingkat petani belum intensif. 5) Biji sorgum mudah rusak selama penyimpanan. 6) Ketersediaan varietas yang disenangi petani masih kurang. 7) Penyediaan benih belum memenuhi lima tepat (jenis, jumlah, mutu, waktu, dan tempat).(Sirappa, 2003) DUKUNGAN TEKNOLOGI DAN KEBIJAKAN OPERASIONAL Untuk menciptakan sistem agribisnis dan agroindustri sorgum, ketersediaan teknologi mutlak diperlukan, yang meliputi teknologi budi daya serta pascapanen/ pengolahan.(Sirappa, 2003) pengembangan sorgum perlu memperhatikan empat hal yaitu: 1) wilayah/ tipologi lahan, (areal tanaman sorgum), 2) sosial (sikap dan persepsi produsen terhadap sorgum sebagai bagian dari usaha taninya), 3) ekonomi (nilai keunggulan komparatif dan kompetitif sorgum terhadap komoditas lain), dan 4) industri (nilai manfaat sorgum sebagai bahan baku industri).(Sirappa, 2003) PENINGKATAN EFISIENSI PUPUK NITROGEN PADA PADI SAWAH DENGAN METODE BAGAN WARNA DAUN Nitrogen merupakan faktor kunci dan masukan produksi yang termahal pada usaha padi sawah, dan apabila penggunaannya tidak tepat dapat mencemari air tanah.(Wahid, 2003) pemberian pupuk N yang berlebihan pada padi dapat meningkatkan kerusakan tanaman akibat serangan hama dan penyakit, memperpanjang umur tanaman, dan menyebabkan kerebahan.(Wahid, 2003) Strategi pengelolaan hara N yang optimal bertujuan agar pemupukan dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman sehingga dapat mengurangi kehilangan N dan meningkatkan serapan N oleh tanaman. Pemberian pupuk yang tepat tidak saja akan menurunkan biaya penggunaan pupuk, tetapi dengan takaran pupuk yang lebih rendah, hasil relatif sama, tanaman lebih sehat, serta mengurangi hara yang terlarut dalam air dan penimbunan N dalam air atau bahan makanan yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.(Wahid, 2003) Tingkat skala warna daun tanaman padi dipengaruhi oleh populasi tanaman, fase pertumbuhan tanaman, varietas yang digunakan, cara tanam, dan status hara N dalam tanah. Hasil penelitian di Filipina menunjukkan bahwa dengan menggunakan alat SPAD, titik kritis tanaman padi terhadap hara N pada musim kemarau adalah pada skala 30 untuk sistem tanam benih langsung (tabela) secara sebar dengan jumlah anakan sekitar 800 tanaman/m2 (produktivitas 6,85 t/ha), dan pada skala 32 untuk cara tanam tabela secara larikan dengan jumlah anakan produktif tidak kurang dari 650 tanaman/ m2 (produktivitas yang dicapai 6,83 t/ha).(Wahid, 2003) nilai kritis skala warna BWD padi tanam pindah untuk varietas aromatik adalah pada skala 3, varietas indica tipe semikerdil pada skala 4, dan varietas hibrida pada skala 4− 5. Pada padi yang ditanam secara tabela, untuk varietas semikerdil nilai kritisnya adalah pada skala 3 dan untuk hibrida pada skala 4.(Wahid, 2003) Serangan penyakit bakteri bercak daun dan penyakit bergaris merah juga tidak banyak dijumpai pada petak yang menerapkan BWD.(Wahid, 2003) penerapan BWD dapat menghemat penggunaan pupuk N dalam usaha tani padi.(Wahid, 2003) keuntungan usaha tani padi dengan menerapkan BWD-4 dan BWD-5 lebih tinggi daripada cara petani atau pemupukan sesuai rekomendasi.(Wahid, 2003) KARAKTERISTIK, POTENSI, DAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAH ULTISOL UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING DI INDONESIA Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil Taxonomy.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Reaksi tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) KOMPOSISI MINERAL Kandungan mineral mudah lapuk (weatherable mineral) seperti orthoklas, biotit, epidot, gelas volkan olivin, sanidin amfibol, augit, dan hiperstin pada tanah Ultisol umumnya rendah bahkan sering tidak ada.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-basa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik. Kondisi tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit. Namun, dominasi kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat kimia tanah, karena kapasitas tukar kation kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20−12,50 cmol/kg liat.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Pengapuran Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan Al dan kejenuhan Al.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Pada tanaman kedelai, pemberian kapur hingga kedalaman 30 cm dapat memberikan hasil tertinggi, tetapi residu kapur tidak mempengaruhi tinggi tanaman jagung yang ditanam setelah kedelai, dan hanya berpengaruh pada bobot tongkol basah.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Pemberian kapur dapat mengatasi masalah kemasaman tanah dan juga menjamin tanaman dapat bertahan hidup dan berproduksi bila terjadi kekeringan.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Ultisol pada umumnya memberikan respons yang baik terhadap pemupukan fosfat. Penggunaan pupuk P dari TSP lebih efisien dibanding P alam.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Residu pupuk P pada tanah Ultisol memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Bahan Organik Bahan organik selain dapat meningkatkan kesuburan tanah juga mempunyai peran penting dalam memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi, serta membuat struktur tanah menjadi lebih remah dan mudah diolah. Bahan organik tanah melalui fraksi-fraksinya mempunyai pengaruh nyata terhadap pergerakan dan pencucian hara. Asam fulvat berkorelasi positif dan nyata dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci, sedangkan asam humat berkorelasi negatif dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Pengelolaan bahan organik dengan penanaman Mucuna sp. selama 3 bulan dan pengembalian serasah + pupuk kandang 10 t/ha pada guludan dapat meningkatkan pori tanah, dan pori air tersedia, serta menurunkan kepadatan tanah.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Pemberian berbagai jenis dan takaran pupuk kandang (sapi, ayam, dan kambing) dapat memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu menurunkan bobot isi serta meningkatkan porositas tanah dan laju permeabilitas.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Penerapan pola tanam tumpang gilir di produksi dengan pemberian mulsa setiap panen pada tanah Ultisol dapat menekan erosi pada lereng 15% hingga di bawah nilai erosi yang dapat diabaikan.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) Pada lereng sekitar 4%, penggunaan mulsa untuk mencegah erosi cukup baik asalkan diikuti pengelolaan tanah yang baik pula.(Prasetyo.B.H & Suriadikarta.D.A, 2006) DAFTAR PUSTAKA Herawati, H. (2008). Penentuan umur simpan pada produk pangan. Litbang Pertanian, 27(4). Prasetyo.B.H, & Suriadikarta.D.A. (2006). Karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di indonesia. Litbang Pertanian, 25(2), 39–47. Sirappa, M. P. (2003). Prospek pengembangan sorgum di indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan industri. Litbang Pertanian, 22(4). Wahid, A. S. (2003). Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi sawah dengan metode bagan warna daun. Litbang Pertanian, 22(4). Membuat Referensi dan Daftar Pustaka Masukkan seluruh referensi jurnal yang ada satu-persatu, dengan menyeret file dari folder yang sudah tersimpan dan menaruhnya di halaman Mendeley: Lengkapi data jurnal dengan mengisi kolom Authors,Journal,Year,Volume, Issue, Pages( sesuai dengan data yang ada): Untuk membuat sumber kutipan, buka file yg sudah ada dari hasil resume yang ada di jurnal, lalu klik References,dan pilih Insert Citation(tahap1), kemudian muncul (tahap2) seperti yang ada pada gambar, lalu ketik pada kolom” Search By Authors, title or year in My Library” masukan nama penulis dari jurnal yang kita pilih, lalu klik Ok. Maka nama penulis akan muncul di sumber kutipan yang kita buat. Untuk membuat daftar pustaka klik Insert Bibliography pada References maka secara otomatis daftar pustaka akan muncul.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FAKTOR KEBUDAYAAN: (i) BUDAYA, SUB BUDAYA (ii) KELAS SOSIAL

KASUS TENTANG SENGKETA HAKI PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DI JAWA TIMUR

FAKTOR SOSIAL PERILAKU KONSUMEN (Kelompok Referensi dan Pengaruh Keluarga)